Kisah Warga Cium Wangi Melati dari Jasad Ibu Peluk Anak Korban Gempa Cianjur, Tertimbun 3 Hari
Laporan Wartawan TribunJabar.id, Ferri Amiril Mukminin
TRIBUN-VIDEO.COM, CIANJUR - Sebanyak 61 warga Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, meninggal karena gempa Cianjur magnitudo 5,6.
Kepala Desa Cijedil, Pudin, masih memendam pilu dan keletihan setelah dua pekan lebih harus berjibaku bersama semua pihak terkait untuk memulihkan keadaan.
Ia mengingat jelas bagaimana seorang ibu yang sedang memeluk anaknya yang ditemukan tiga hari setelah tertimbun menyebarkan aroma melati dari tubuhnya.
Pengalaman getir tersebut masih terlihat jelas di matanya.
Bagaimana semua warga yang saat itu membantu mengangkat jenazah seorang ibu terhenyak karena tak mencium bay mayat seperti biasanya.
Demikian halnya dengan petugas ambulans yang membawa jenazah sang ibu tersebut. Mereka mengakui jika mobil ambulans baunya dipenuhi dengan bau melati.
Pudin meyakini selama hidupnya sang ibu banyak berbuat amal saleh.
Pudin mengatakan, saat ditemukan ibu dan bayi yang berpelukan tersebut dibawa terpisah oleh ambulans karena saat itu dua ambulan mengarah ke barat dan ke timur.
"Satu berangkat ke arah Cipanas menuju Cimacan dan satu lagi arah kota menuju RSUD Cianjur," ujar Pudin ditemui Selasa (6/12/2022) di kawasan Cijedil.
Pudin sempat menyuruh kedua ambulans untuk mengarah ke tempat yang sama, namun petugas yang terburu-buru tak sempat mendengar karena ingin cepat membawa ke rumah sakit.
"Alhasil kedua jenazah dipertemukan kembali menjelang malam pukul 21.00 WIB, keduanya warga saya," kata Pudin yang terlihat masih keletihan karena baru bangun dan harus kembali beraktivitas melakukan verifikasi untuk bantuan bersama Babinsa dan Bhabinkamtibmas.
Pudin bersama warga baru pertama kali menyaksikan secara langsung bagaimana jenazah yang beraroma melati dan tak bau jenazah seperti biasanya.
"Aslinya pa, baru kali ini saya mendapatkan pengalaman seperti ini," katanya.
Pengalaman lain yang diingat Pudin saat anaknya melintasi bagian atas longsor berjalan kaki melewati kawasan kebun dan hutan karena sempat terjebak longsoran di area Warung Sate Shinta ketika pulang dari arah Cipanas.
"Antara marah dan menangis pa, saya langsung memeluk anak saya ketika ia menceritakan setelah longsor, ia berjalan kaki mencari arah pulang untuk kembali ke rumah," kata Pudin.
Pudin mengatakan semua warganya mengungsi ke posko yang banyak didirikan pemerintah, TNI, Polri, relawan, di kawasan Cijedil.
Ia pun beberapa kali sempat tidur tak teratur dan tidur dimana saja ketika ia mengantuk.
"Hari kedua setelah gempa, saya keluar dari posko dan mendata warga di sebuah rumah makan yang terbuat dari bambu, saking mengantuknya saya tertidur di sebuah saung di rumah makan tersebut yang di sampingnya ada kolam," kata Pudin.
Hari kedua gempa susulan hampir terjadi setiap 5-10 menit. Saat tertidur di saung tersebut, Pudin tak ingat bagaimana ia bisa jatuh dan tercebur ke kolam.
"Kaget saja pa tiba-tiba saya tercebur ke kolam rumah makan tersebut, semua baju basah, padahal belum punya baju ganti saat itu," katanya.
Pudin pun kembali ke posko dan meminta baju salin.
Ia mengatakan, dari 61 warganya yang menjadi korban gempa, saat ini delapan di antaranya masih dalam pencarian.
Pudin sudah mendengar kabar jika tak ditemukan maka pemerintah akan memanggil semua keluarga korban ke kantor bupati Cianjur.
"Sebelumnya saya juga sempat menemani keluarga korban ke kantor bupati, kemungkinan hari ini juga keluarga korban akan dipanggil kembali oleh bupati karena pencarian sudah dilakukan selama dua pekan lebih," ujarnya.
Suasana kampung Cijedil masih porak poranda setelah diterjang gempa.
Tim SAR sempat melakukan pencarian di titik Kampung Cicadas selain di Kampung Pos Sate Shinta dan Kampung Cugenang. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Kisah Warga Cium Wangi Melati dari Jasad Ibu Peluk Anak Korban Gempa Cianjur, Tertimbun 3 Hari, https://jabar.tribunnews.com/2022/12/06/kisah-warga-cium-wangi-melati-dari-jasad-ibu-peluk-anak-korban-gempa-cianjur-tertimbun-3-hari?page=all.
Penulis: Ferri Amiril Mukminin | Editor: Seli Andina Miranti